Di tengah kencangnya kemajuan sains dan teknologi, sudah semestinya bulan Ramadhan menjadi momen strategis “start awal” pijakan untuk estafet menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber kajian ilmu dan pengetahuan modern, bukan hanya menjadikan Al-Qur’an sebatas pedoman di medan ibadah “tahunan” belaka.
Hal tersebut, dimaksudkan sebagai apresiasi atas meningkatnya fenomena religiusitas di ruang publik Muslimin secara drastis setiap Ramadhan tiba. Mendadak “ruh” Al-Qur’an kian bergelora di berbagai lini aktivitas hidup dan kehidupan harian tanpa mengenal ruang dan waktu, efek positifnya orang-orang yang jarang menyentuh Al-Qur’an pun di bulan ini mendadak rajin “beraktivitas” dengan Al-Qur’an.
Relevansi Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Ramadhan bulan diturunkannya totalitas Al-Qur’an dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah, langit dunia, selanjutnya diturunkan selama 23 tahun kepada Nabi Muhammad secara bertahap melalui perantara malaikat Jibril. Dalam kehidupan Muslim modern belakang ini, ia pun kerap disebut “bulan Al-Qur’an”.
Hasil penelitian ilmuan terkemuka asal Perancis, Dr Maurice Bucaille, dalam bukunya: ”La Bible, le Coran et la Science (1976)”, yang membandingkan kitab-kitab suci antara Al-Qur’an, Injil, dan Taurat, berkesimpulan bahwa “Al-Qur’an-lah yang paling dekat dengan teori ilmu pengetahuan”. Hal itu ia kemukakan setelah ia meneliti mummi Firaun Ramses II.
Saya berpendapat, dokter bedah senior asal Perancis itu sejatinya hanya melacak kebenaran dari opini Imam Ibnu al-Arobi al-Ma’afiry (wafat 543 H) dalam kitabnya ”Qonunut Ta’wil”, yang jauh-jauh sebelumnya telah berpendapat “Di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari empat ribu ilmu pengetahuan. Hanya saja, intelektualitas manusialah yang masih banyak belum mampu menjangkaunya”.
Di konteks ini, Imam Al-Ghazali berijtihad, dan dalam kitabnya Ihya Ulumid Din ia secara implisit menyatakan, di internal (Islam) banyak terdapat ilmu pengetahuan. Hal itu saya simpulkan dari paparan Hujjatul Islam itu yang menyatakan bahwa dari sekian banyak ilmu dan pengetahuan, hukum memepelajari ilmu terbagi menjadi dua macam. Pertama, fardu ‘ain hukumnya, yang wajib bagi setiap orang, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bekal beribadah. Kedua, fardhu kifayah hukumnya, cukup diwakili oleh sebagian orang, seperi ilmu kedokteran, ekonomi, politik, dan lainnya, yang lebih cenderung bersifat pengetahuan umum (non-syariah).
Jika di dalam Al-Qur’an itu tidak terdapat banyak ilmu pengetahun, tentu sangat tidak mungkin Al-Ghazali membuat peta pembagian hukum memepelajari ilmu (dengan analisa syar’i) tersebut. Kian jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an betapa banyak ragam ilmu dan pengetahuan. Menurut saya, Imam Al-Ghazali mencetuskan pendapat demikian karena ia sendiri mampu menggalisa isi “bagian dalam” Al-Qur’an.
Data Sejarah
Sejarah pun mencatat, Ibnu Khaldun (732 H-808 H) yang hafal Al-Qur’an saat usia 7 tahun adalah intelektual terkemuka di dunia. Ia dinobatkan oleh dunia pendidikan sebagai “Bapak Ekonomi”, dengan pemikiran-pemikiran inovatif dan cemerlang tentang teori ekonomi jauh sejak tiga abad lalu sebelum gagasan-gagasan ekonomi yang diluncurkan oleh para ekonom terkemuka lainnya seperti Prof Dr Adam Smith (1723-1790) dan Prof Dr David Ricardo (1772-1823). Magum opus-nya buku spektakuler “al-Muqaddimah” yang lebih dikenal dengan nama “Muqaddimah Ibnu Khaldun” menjadi bacaan wajib para cendikiawan dan ilmuwan modern di seluruh belahan dunia.
Juga ada Ibnu Sina (980-1037) yang sejak kecil dia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur'an saat berusia 10 tahun. Di kalangan orang-orang Barat dikenal dengan panggilan Avicenna, sang filosuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10. Ia pun mendapat gelar kehormatan sebagai 'Bapak Kedokteran Modern' dan masih banyak lagi sebutan kebesaran baginya yang relevan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Magnum opus-nya dalam bahasa Arab adalah “Al-Qanun fith –Thib”, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia sebagai rujukan wajib ilmu kedokteran sejak berabad-abad silam hingga kini. Ia menghasilkan 450 karya ilmiah, meski hanya sekitar 240 manuskrip karyanya terselamatkan. Karya-karyanya mencakup beragam disiplin keilmuan: filsafat, astronomi, kimia, geografi, matematika, geologi, teologi, psikologi, fisika, logika hingga seni puisi, dan lainnya.
Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina hanya dua contoh dari para ilmuwan dunia terkemuka yang sejak anak-anak keilmuannya dilandasi mempelajari sekaligus menghafal Al-Qur’an. Masih banyak sederetan ilmuwan terkemuka yang hafal dan faham Al-Qur’an sejak dini. Bagaimana dengan generasi penghafal Al-Qur’an abad sekarang?
Reorientasi Penghafal Al-Qur’an
Hal ini, juga sekaligus dimaksud sebagai respon positif terhadap fenomena dasawarsa ini Indonesia sedang “demam” tahfidzil qur’an (hafalan Al-Qur'an). Bermunculanlah di mana-mana lembaga-lembaga pendidikan hafalan Al-Qur’an dengan berbagai embel-embelnya. Akan tetapi dominan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman ibadah belaka. Kalau pun ada, sedikit sekali yang merambah kajian Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan modern.
Sejak masa kolonial pun di berbagai penjuru Indonesia terdapat ratusan atau bahkan ribuan pondok pesantren/lembaga tahfidz Al-Qur’an yang meluluskan ratusan penghafal Al-Qur’an setiap tahunnya. Namun, kenapa Facebook tidak ditemukan oleh para santri pesantren di Indonesia yang hafal Al-Qur’an? Kenapa smartphone tidak diciptakan oleh para santri pesantren di Indonesia yang hafal Al-Qur’an? Kenapa, koneksi wifi/internet tidak ditemuan oleh para santri putri yang cantik-cantik pesantren di Indonesia yang hafal Al-Qur’an? Jawabannya, karena selama ini Al-Qur’an telah dominan diposisikan sebagai pedoman beribadah belaka. Tanpa ada usaha (manusia) untuk kembali menggali esensi Al-Qur’an dalam konteks sains, teknologi, dan informasi modern.
Di konteks pemahaman syariah, jika dibandingkan dengan geliat intelektualitas Timur Tengah saja Indonesia tertinggal jauh. Di Timur Tengah atau negara-negara bagian Arab lainnya, hafalan Al-Qur’an adalah sebagai bekal intelektualitas – Minimal konteks memamahi pokok-pokok syariat-- pada topik tertentu, semisal menghafal ayat-ayat berkaitan dengan zakat, untuk menggali hukum-hukum zakat. Menghafal ayat-ayat haji untuk menggali hukum-hukum haji, dan seterusnya.
Kondisi tersebut berbeda jauh dari di Indonesia, pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga tahfidzil Qur’an mayoritas orientasinya dominan menghafal kalimat belaka, dengan tanpa mengkaji ilmu-ilmu kandungan isi Al-Qur’an secara maksimal dan mendetail. Banyak ditemukan para penghafal Al-Qur’an sebatas hafal Al-Qur’an tapi keilmuannya kurang memadai standar, banyak yang kurang memahami fan ilmu fiqih, fan ilmu hadits dan fan ilmu syariah lain secara maksimal. Tepatnya di Indonesia banyak ditemukan para penghafal (ayat-ayat) Al-Qur’an namun kurang memadai disiplin keilmuannya dalam konteks syariah sekalipun.
Ramadhan jangan hanya dominan diposisikan sebagai event religiusitas (ibadah) atau hanya menjadikan Ramadhan event tahunan membaca “bagian luar” ayat-ayat Al-Qur’an belaka. Sudah semestinyalah harus kian proaktif menyerukan, dengan penuh keyakinan dan positif thinking bahwa dengan disertai metode kajian modern dan berkembang, harus maksimal menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber berbagai ilmu, pengetahuan dan teknologi modern yang sementara ini “terabaikan” keberadaanya bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang perlu digali. Ramadhan “start awalnya” yang sangat strategis.
Selamat mencoba.
Penulis adalah Mustasyar PCINU Maroko; wakil ketua Yayasan Pondok Pesantren asy-Syafi’iyyah Kedungwungu Krangkeng Indramayu Jawa Barat
Sumber